PENGARUH BERBAHASA NEGATIF DI MEDIA SOSIAL
Ihsan Ghiandy Aditya
Abstrak
Media sosial merupakan sebuah wadah untuk
berinteraksi, berdiskusi atau berbagi informasi satu sama lain. Informasi yang
dibagikan di media sosial dapat berdampak positif ataupun negatif. Melihat
banyaknya kasus yang terjadi akibat penyalahgunaan media sosial dalam
berkata-kata, seperti pencemaran nama baik atau penghinaan, penulis tertarik
untuk mengkaji lebih lanjut tentang apa yang menyebabkan seseorang berbahasa
negatif dan mempostingnya di media sosial.
Kata
kunci : Update status, Amygdala
Pendahuluan
Keberadaan media
sosial saat ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat
Indonesia. Melihat dari sejarah perkembangannya, awal mula media sosial adalah
ketika tahun 1969 berdiri sebuah perusahaan penyedia layanan internet dan
kemudian tahun 1978 ada dua orang asal Cichago menciptakan sebuah sistem
berbagi informasi berupa papan buletin di dunia virtual. Dengan papan buletin
tersebut sangatt membantu teman-temannya untuk berbagi informasi seputar
pengumuman, pertemuan dan agenda penting lainnya.
Perkembangan dunia
internet semakin berkembang lagi ketika lahir Google.com pada tahun 1998
sebagai penyedia layanan mesin pencari. Hingga akhirnya penamaan situs dengan
domain .com sangat digemari sekitar tahun 2000 hingga saat ini.
Sekitar tahun 2002
lahir situs jejaring sosial yang mulai digemari di Indonesia yaitu
Friendster.com yang membuat keberadaan media sosial menjadi sangat fenomenal. Hingga
akhirnya perkembangan sosial media terus
mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan ke arah yang memudahkan pengguna
untuk berkomunikasi dengan kelebihan fiturnnya masing-masing.
Kominfo.go.id menyampaikan dalam ssebuah artikelnya bahwa pengguna jumlah pengguna internet di Indonesia kini mencapat 63
juta orang. Dari data tersebut 95 persennya menggunakan internet untuk
mengakses situs jejaring sosial. Menurut data dari Webershandwick,
perusahaan public relations dan pemberi layanan jasa komunikasi, untuk wilayah
Indonesia ada sekitar 65 juta pengguna Facebook aktif. Sebanyak 33 juta
pengguna aktif per harinya, 55 juta pengguna aktif yang memakai perangkat
mobile dalam pengaksesannya per bulan dan sekitar 28 juta pengguna aktif yang
memakai perangkat mobile per harinya.
Pengguna Twitter, berdasarkan data PT Bakrie Telecom, memiliki 19,5 juta
pengguna di Indonesia dari total 500 juta pengguna global. Twitter menjadi
salah satu jejaring sosial paling besar di dunia sehingga mampu meraup
keuntungan mencapai USD 145 juta.
Kebanyakan pengguna Twitter di Indonesia adalah konsumen,
yaitu yang tidak memiliki Blog atau tidak pernah mengupload video di Youtube
namun sering update status di
Twitter dan Facebook.
Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa media
sosial sangat digemari di Indonesia, terutama dengan salah satu kelebihan fitur
yang ditawarkannya yaitu update status atau
dalam kata lain, memposting apa yang sedang terjadi disekitar kita ataupun pada
diri kita.
Metode penelitian
Penulisan tulisan ini menggunakan metode penelitian studi
pustaka, dimana penulis mengumpulkan beberapa sumber berupa artikel, buku dan
tulisan lainnya.
Pembahasan
Fenomena update status mulai booming saat berdiri sebuah
situs jejaring sosial bernama Facebook. Facebook menyediakan sebuah kolom untuk
menuliskan “status” seseorang dan juga kolom komentar untuk orang lain yang
ingin mengomentari status. Seiring perkembangan fiturnya, penulisan status tersebut kini menjadi
ditambah fitur-fitur yang menarik seperti gambar, video, emoticons, dan lainnya.
Tak dapat dipungkiri, kebanyakan dari status-status yang
di update adalah berupa tulisan yang ditulis dengan tujuan untuk meluapkan emosi,
baik itu berupa perasaan senang maupun sedih.Tetapi ada banyak hal lainnya yang
di update, misalnya berupa informasi bahkan doa kepada Tuhan pun banyak orang
yang mengupdatenya di media sosial.
Bersumber dari penelitian yang dilakukan oleh Profesor Matthew
D. Lieberman, UCLA[1]:
A new brain imaging study by psychologists reveals … verbalizing our feelings makes our
sadness, anger and pain less intense.
Menyatakan perasaan kita dapat membuat kesedihan,
kemarahan dan kesakitan berkurang.
"Putting our feelings into words helps us
heal better. If a friend is sad
and we can get them to talk about it, that probably will make them feel
better." - Profesor
Matthew D. Lieberman
Menaruh perasaan kedalam tulisan dapat membantu kita
menjadi lebih baik.
Seseorang
yang meluapkan emosinya ke dalam kata-kata akan sangat membantu dirinya dalam
mengelola emosi tersebut. Namun yang perlu diperhatikan disini adalah tempat
dimana kita menuliskan perkataan kita tersebut, karena banyak sekali masyarakat
yang terlibat kasus-kasus pidana dikarenakan adanya fasilitas update status
tersebut.
Menurut
pendapat penulis, untuk status yang sifatnya masalah pribadi, nampaknya tak
perlu dituliskan di media sosial, karena ini akan berdampak besar terhadap
pengguna lain. Selain itu, ini bukan solusi terbaik, karena pengguna lain akan
mengetahui masalah kita tersebut. Mungkin akan ada beberapa orang yang peduli
dengan masalah kita yang kita update, tetapi hal itu hanya biasanya hanya
sekedar ucapan simpati saja di kolom komentar. Akan lebih bijak jika untuk yang
wilayah pribadi tersebut ditulis di buku harian saja yang sifatnya pribadi.
Tidak perlu orang lain mengetahui masalah kehidupan kita.
Luapan
masalah yang biasa seseorang update biasanya menggunakan kata-kata yang
negatif. Hal ini tentu akan berdampak terhadap dirinya dan juga oran lain yang
melihat statusnya.
Didalam
penelitian yang dilakukan oleh Profesor Matthew D. Lieberman, beliau melakukan sebuah
penelitian terhadap seseorang yang diperlihatkan tulisan-tulisan negatif dan
hal tersebut ternyata dapat menyebabkan penurunan respon dan pengeluaran hormon
stress didalam amygdala[2].
Seseorang
yang intens melihat atau mendengar kata-kata negatif menyebabkan terjadinya
gangguan pada bagian amygdala seseorang tersebut. Hal ini tentu, apabila
seseorang meluapkan kemarahannya di media sosial, maka akan berdampak terhadap
pengguna lain juga. Walaupun tak dapat dilihat secara kasat mata, namun apabila
hal ini berjalan terus menerus,
akan sangat berbahaya. Beruntung
jika pengguna lain bertindak apatis dan mengabaikan status-status negatif yang
seseorang update. Namun jika dengan intensitas setiap hari pengguna lain
melihat status-status dengan perkataan negatif maka akan sangat berdampak
negatif.
Seperti
dikutip dari sebuah buku “Words Can Change Your Brain”:
If
you were in an fMRI scanner—a huge doughnut-shaped magnet that can take a video
of the neural changes happening in your brain—we would record, in less than a
second, a substantial increase of activity in your amygdala and the release of
dozens of stress-producing hormones and neurotransmitters. These chemicals
immediately interrupt the normal functioning of your brain, especially those
that are involved with logic, reason, language processing, and communication.
And
the more you stay focused on negative
words and thoughts, the more you can actually damage key structures that
regulate your memory, feelings, and emotions.1 You may disrupt your sleep,
your appetite, and the way your brain regulates happiness, longevity, and health.
Jika
seseorang berada di f MRI scanner[3]
kita dapat melihat peningkatan aktivitas substansi di dalam amygdala dan
mengeluarkan hormon stress yang di produksi. Hormon ini biasanya mengganggu
fungsi normal otak orang tersebut. Terutama fungsi yang terlibat dengan logika,
alasan, proses berbahasa dan komunikasi.
Dan
apabila seseorang tersebut tetap fokus dengan perkataan negatif tersebut, maka
dapat menghancurkan struktur kunci yang terhubung dengan memori, perasaan dan
emosi.
Hal
ini dapat mengganggu aktivitas sehari-hari kita seperti tidur, makan dan cara
otak mengolah perasaan senang dan kessehatan.
Selain
itu, perkataan juga merupakan sebuah sugesti yang apabila terus menerus
perkataan negatif yang di tuliskan di media sosial, maka akan berdampak
terhadap prilaku seseorang.
Roy F. Baumeister, seorang profesor psikologi sosial di
Universitas Florida, pada tahun 2001 juga menulis sebuah jurnal tentang
“Keburukan lebih kuat daripada kebaikan” dengan kesimpulan bahwa “Emosi yang buruk, keluarga yang buruk dan
umpan balik yang buruk lebih berdampak daripada yang baik. Pengaruh yang buruk
dan kesan buruk akan lebih cepat terbentuk dan tahan untuk tidak dikonfirmasi
daripada hal baik.”
Selain dampak dari perkataan yang buruk, dampak lain dari
berbahasa negatif di media sosial adalah menimbulkan perpecahan. Media sosial merupakan ruang publik. Disana banyak pengguna lain yang
terlibat. Sebagai contoh, si A mengupdate status dengan perkataan membeci si B,
Si B bersahabat dengan si C, namun si C juga berteman dengan si A. tentu si B akan mempengaruhi si C untuk
membeci si A. Karena atas dasar sahabat, si B dan si C pun membeci si A. Hingga
akhirnya dapat menimbulkan perpecahan.
Kesimpulan
Media sosial
merupakan ruang publik yang didalamnya banyak pengguna lain yang terlibat. Akan
sangat bijak, apabila masyarakat pengguna media sosial, memanfaatkan media
sosial untuk hal-hal yang positif, seperti berbagi informasi tentang hal-hal
yang menambah manfaat untuk diri pribadi dan orang lain.
Seperti pembahasan
di atas yang telah disampaikan, bahwa perkataan negatif baik itu secara lisan
maupun tulisan, akan sangat berdampak terhadap manusia. Didalam otak manusia
terdapat bagian yang bernama amygdala. Bagian ini akan sangat cepat merespon
hal-hal negatif dan mengeluarkan hormon stress yang akan berdampak besar jika
pengeluaran hormon tersebut secara intens terus-menerus.
Daftar Pustaka
Kominfo. “Pengguna
Internet di Indonesia 63 Juta Orang”. Kamis, 07
November 2013. http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo+%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+63+Juta+Orang/0/berita_satker#.VKae5iusVe8
Abcnews. “Study : Negative Words Dominate Language”.
2 Februari 2005. http://abcnews.go.com/Technology/DyeHard/story?id=460987
Tugend, Alina. “Newyork Times : Praise Is Fleeting, but Brickbats
We Recall”. 23 March 2012. http://www.nytimes.com/2012/03/24/your-money/why-people-remember-negative-events-more-than-positive-ones.html?pagewanted=all&_r=0
Newberg, Andrew dan Robert Waldman,
Mark. (2013). Words Can Change Your Brain. USA.
Sciencedaily. “Putting
Feelings Into Words Produces Therapeutic Effects In The Brain”. June 22, 2007. http://www.sciencedaily.com/releases/2007/06/070622090727.htm
Aziz, Firman
dkk. (2014). Praktis Berbahasa Indonesia
di Perguruan Tinggi. Bandung:Asasupi.
Amir dkk.
(2013). “Allemania: Jurnal Bahasa dan Sastra Jerman”. Bandung: Jurusan
Pendidikan Bahasa Jerman FPBS UPI.
Elfitri, Ayu Rahayu. “Panduan Menulis Jurnal Ilmiah”. 9
Februari 2012. http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/09/10353179/Panduan.Menulis.Jurnal.Ilmiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar