Senin, 05 Januari 2015

Ihsan Ghiandy Aditya

PENGARUH BERBAHASA NEGATIF DI MEDIA SOSIAL
Ihsan Ghiandy Aditya

Abstrak
Media sosial merupakan sebuah wadah untuk berinteraksi, berdiskusi atau berbagi informasi satu sama lain. Informasi yang dibagikan di media sosial dapat berdampak positif ataupun negatif. Melihat banyaknya kasus yang terjadi akibat penyalahgunaan media sosial dalam berkata-kata, seperti pencemaran nama baik atau penghinaan, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang apa yang menyebabkan seseorang berbahasa negatif dan mempostingnya di media sosial.
Kata kunci : Update status, Amygdala

Pendahuluan
Keberadaan media sosial saat ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Melihat dari sejarah perkembangannya, awal mula media sosial adalah ketika tahun 1969 berdiri sebuah perusahaan penyedia layanan internet dan kemudian tahun 1978 ada dua orang asal Cichago menciptakan sebuah sistem berbagi informasi berupa papan buletin di dunia virtual. Dengan papan buletin tersebut sangatt membantu teman-temannya untuk berbagi informasi seputar pengumuman, pertemuan dan agenda penting lainnya.
Perkembangan dunia internet semakin berkembang lagi ketika lahir Google.com pada tahun 1998 sebagai penyedia layanan mesin pencari. Hingga akhirnya penamaan situs dengan domain .com sangat digemari sekitar tahun 2000 hingga saat ini.
Sekitar tahun 2002 lahir situs jejaring sosial yang mulai digemari di Indonesia yaitu Friendster.com yang membuat keberadaan media sosial menjadi sangat fenomenal. Hingga akhirnya  perkembangan sosial media terus mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan ke arah yang memudahkan pengguna untuk berkomunikasi dengan kelebihan fiturnnya masing-masing.
Kominfo.go.id menyampaikan dalam ssebuah artikelnya bahwa pengguna jumlah pengguna internet di Indonesia kini mencapat 63 juta orang. Dari data tersebut 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses situs jejaring sosial. Menurut data dari Webershandwick, perusahaan public relations dan pemberi layanan jasa komunikasi, untuk wilayah Indonesia ada sekitar 65 juta pengguna Facebook aktif. Sebanyak 33 juta pengguna aktif per harinya, 55 juta pengguna aktif yang memakai perangkat mobile dalam pengaksesannya per bulan dan sekitar 28 juta pengguna aktif yang memakai perangkat mobile per harinya.
Pengguna Twitter, berdasarkan data PT Bakrie Telecom, memiliki 19,5 juta pengguna di Indonesia dari total 500 juta pengguna global. Twitter menjadi salah satu jejaring sosial paling besar di dunia sehingga mampu meraup keuntungan mencapai USD 145 juta.
Kebanyakan pengguna Twitter di Indonesia adalah konsumen, yaitu yang tidak memiliki Blog atau tidak pernah mengupload video di Youtube namun sering update status di Twitter dan Facebook.

Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa media sosial sangat digemari di Indonesia, terutama dengan salah satu kelebihan fitur yang ditawarkannya yaitu update status atau dalam kata lain, memposting apa yang sedang terjadi disekitar kita ataupun pada diri kita.

Metode penelitian

Penulisan tulisan ini menggunakan metode penelitian studi pustaka, dimana penulis mengumpulkan beberapa sumber berupa artikel, buku dan tulisan lainnya.

Pembahasan

Fenomena update status mulai booming  saat berdiri sebuah situs jejaring sosial bernama Facebook. Facebook menyediakan sebuah kolom untuk menuliskan “status” seseorang dan juga kolom komentar untuk orang lain yang ingin mengomentari status. Seiring perkembangan fiturnya, penulisan status tersebut kini menjadi ditambah fitur-fitur yang menarik seperti gambar, video, emoticons, dan lainnya.

Tak dapat dipungkiri, kebanyakan dari status-status yang di update adalah berupa tulisan yang ditulis dengan tujuan untuk meluapkan emosi, baik itu berupa perasaan senang maupun sedih.Tetapi ada banyak hal lainnya yang di update, misalnya berupa informasi bahkan doa kepada Tuhan pun banyak orang yang mengupdatenya di media sosial.

Bersumber dari penelitian yang dilakukan oleh Profesor Matthew D. Lieberman, UCLA[1]:

A new brain imaging study by psychologists reveals … verbalizing our feelings makes our sadness, anger and pain less intense.

Menyatakan perasaan kita dapat membuat kesedihan, kemarahan dan kesakitan berkurang.

"Putting our feelings into words helps us heal better. If a friend is sad and we can get them to talk about it, that probably will make them feel better." - Profesor Matthew D. Lieberman

Menaruh perasaan kedalam tulisan dapat membantu kita menjadi lebih baik.

Seseorang yang meluapkan emosinya ke dalam kata-kata akan sangat membantu dirinya dalam mengelola emosi tersebut. Namun yang perlu diperhatikan disini adalah tempat dimana kita menuliskan perkataan kita tersebut, karena banyak sekali masyarakat yang terlibat kasus-kasus pidana dikarenakan adanya fasilitas update status tersebut.

Menurut pendapat penulis, untuk status yang sifatnya masalah pribadi, nampaknya tak perlu dituliskan di media sosial, karena ini akan berdampak besar terhadap pengguna lain. Selain itu, ini bukan solusi terbaik, karena pengguna lain akan mengetahui masalah kita tersebut. Mungkin akan ada beberapa orang yang peduli dengan masalah kita yang kita update, tetapi hal itu hanya biasanya hanya sekedar ucapan simpati saja di kolom komentar. Akan lebih bijak jika untuk yang wilayah pribadi tersebut ditulis di buku harian saja yang sifatnya pribadi. Tidak perlu orang lain mengetahui masalah kehidupan kita.

Luapan masalah yang biasa seseorang update biasanya menggunakan kata-kata yang negatif. Hal ini tentu akan berdampak terhadap dirinya dan juga oran lain yang melihat statusnya.

Didalam penelitian yang dilakukan oleh Profesor Matthew D. Lieberman, beliau melakukan sebuah penelitian terhadap seseorang yang diperlihatkan tulisan-tulisan negatif dan hal tersebut ternyata dapat menyebabkan penurunan respon dan pengeluaran hormon stress didalam amygdala[2].

Seseorang yang intens melihat atau mendengar kata-kata negatif menyebabkan terjadinya gangguan pada bagian amygdala seseorang tersebut. Hal ini tentu, apabila seseorang meluapkan kemarahannya di media sosial, maka akan berdampak terhadap pengguna lain juga. Walaupun tak dapat dilihat secara kasat mata, namun apabila hal ini berjalan terus menerus, akan sangat berbahaya. Beruntung jika pengguna lain bertindak apatis dan mengabaikan status-status negatif yang seseorang update. Namun jika dengan intensitas setiap hari pengguna lain melihat status-status dengan perkataan negatif maka akan sangat berdampak negatif.

Seperti dikutip dari sebuah buku “Words Can Change Your Brain”:

If you were in an fMRI scanner—a huge doughnut-shaped magnet that can take a video of the neural changes happening in your brain—we would record, in less than a second, a substantial increase of activity in your amygdala and the release of dozens of stress-producing hormones and neurotransmitters. These chemicals immediately interrupt the normal functioning of your brain, especially those that are involved with logic, reason, language processing, and communication.
And the more you stay focused on negative words and thoughts, the more you can actually damage key structures that regulate your memory, feelings, and emotions.1 You may disrupt your sleep, your appetite, and the way your brain regulates happiness, longevity, and health.

Jika seseorang berada di f MRI scanner[3] kita dapat melihat peningkatan aktivitas substansi di dalam amygdala dan mengeluarkan hormon stress yang di produksi. Hormon ini biasanya mengganggu fungsi normal otak orang tersebut. Terutama fungsi yang terlibat dengan logika, alasan, proses berbahasa dan komunikasi.

Dan apabila seseorang tersebut tetap fokus dengan perkataan negatif tersebut, maka dapat menghancurkan struktur kunci yang terhubung dengan memori, perasaan dan emosi.

Hal ini dapat mengganggu aktivitas sehari-hari kita seperti tidur, makan dan cara otak mengolah perasaan senang dan kessehatan.

Selain itu, perkataan juga merupakan sebuah sugesti yang apabila terus menerus perkataan negatif yang di tuliskan di media sosial, maka akan berdampak terhadap prilaku seseorang.

Roy F. Baumeister, seorang profesor psikologi sosial di Universitas Florida, pada tahun 2001 juga menulis sebuah jurnal tentang “Keburukan lebih kuat daripada kebaikan” dengan kesimpulan bahwa “Emosi yang buruk, keluarga yang buruk dan umpan balik yang buruk lebih berdampak daripada yang baik. Pengaruh yang buruk dan kesan buruk akan lebih cepat terbentuk dan tahan untuk tidak dikonfirmasi daripada hal baik.”

Selain dampak dari perkataan yang buruk, dampak lain dari berbahasa negatif di media sosial adalah menimbulkan perpecahan. Media sosial merupakan ruang publik. Disana banyak pengguna lain yang terlibat. Sebagai contoh, si A mengupdate status dengan perkataan membeci si B, Si B bersahabat dengan si C, namun si C juga berteman dengan si A.  tentu si B akan mempengaruhi si C untuk membeci si A. Karena atas dasar sahabat, si B dan si C pun membeci si A. Hingga akhirnya dapat menimbulkan perpecahan.

Kesimpulan

Media sosial merupakan ruang publik yang didalamnya banyak pengguna lain yang terlibat. Akan sangat bijak, apabila masyarakat pengguna media sosial, memanfaatkan media sosial untuk hal-hal yang positif, seperti berbagi informasi tentang hal-hal yang menambah manfaat untuk diri pribadi dan orang lain.

Seperti pembahasan di atas yang telah disampaikan, bahwa perkataan negatif baik itu secara lisan maupun tulisan, akan sangat berdampak terhadap manusia. Didalam otak manusia terdapat bagian yang bernama amygdala. Bagian ini akan sangat cepat merespon hal-hal negatif dan mengeluarkan hormon stress yang akan berdampak besar jika pengeluaran hormon tersebut secara intens terus-menerus.




Daftar Pustaka
Abcnews. “Study : Negative Words Dominate Language”. 2 Februari 2005. http://abcnews.go.com/Technology/DyeHard/story?id=460987

Tugend, Alina. “Newyork Times : Praise Is Fleeting, but Brickbats We Recall”. 23 March 2012. http://www.nytimes.com/2012/03/24/your-money/why-people-remember-negative-events-more-than-positive-ones.html?pagewanted=all&_r=0

 

Newberg, Andrew dan Robert Waldman, Mark. (2013). Words Can Change Your Brain. USA.

 

Sciencedaily. “Putting Feelings Into Words Produces Therapeutic Effects In The Brain”. June 22, 2007. http://www.sciencedaily.com/releases/2007/06/070622090727.htm


Aziz, Firman dkk. (2014). Praktis Berbahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Bandung:Asasupi.

Amir dkk. (2013). “Allemania: Jurnal Bahasa dan Sastra Jerman”. Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman FPBS UPI.

Elfitri, Ayu Rahayu. “Panduan Menulis Jurnal Ilmiah”. 9 Februari 2012. http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/09/10353179/Panduan.Menulis.Jurnal.Ilmiah





[1] Universitas California di Los Angels, Amerika Serikat
[2] Bagian didalam otak manusia yang akan berkurang fungsinya ketika menerima rangsang negatif
[3] Sebuah magnet besar berbentuk donat yang dapat merekam perubahan didalam otak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar