PENGARUH BAHASA INDONESIA TERHADAP PERILAKU SOSIAL
Wulan Permatasari
Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak: Manusia dapat
bersosialisasi karena adanya sebuah interaksi yang saling merespon. Interaksi
tersebut berupa komunikasi yang disertai sebuah bahasa dalam budayanya. Kajian
ilmiah terhadap bahasa dalam semua indra disebut dengan linguistik. Dan ilmu
yang mempelajari bahasa dan sosial adalah sosiolinguistik. Sosiolinguistik
meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dan
masyarakat. Sosiolinguistik membahas tentang suata bahasa dari sekelompok orang. Di Indonesia
terdapat beragam bahasa yang digunakan masyarakat sesuai dengan latar belakang budayanya.
Bahasa adalah alat
komunikasi lingual manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Ini adalah
fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai
sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya
selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu
mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku
maupun anggota bangsa. Di era globalisasi ini, bahasa dapat berdampak negatif dan
positif kepada perilaku sosial.
Kata kunci: Bahasa, bangsa, dan
interaksi sosial
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan alat komunikasi sosial
yang mengkondisikan pikiran manusia tentang suatu masalah yang berada di
lingkungan sekitarnya, manusia berpikir tentang suatu objek yang kemudian
diubah bentuknya ke dalam suatu simbol.
Bahasa bisa
mengacu kepada kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan
menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, atau kepada sebuah instansi
spesifik dari sebuah sistem komunikasi yang kompleks. Kajian ilmiah terhadap
bahasa dalam semua indra disebut dengan linguistik.
Gorys Keraf
(2001:3-8) menyatakan bahwa ada empat fungsi bahasa, yaitu:
1. Alat untuk menyatakan ekspresi diri
Bahasa menyatakan secara terbuka
segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk
memaklumkan keberadaan kita.
2. Alat komunikasi
Bahasa merupakan saluran
perumusan maksud yang melahirkan perasaan dan memungkinkan adanya kerjasama
antar individu.
3. Alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial
Bahasa merupakan salah satu unsur
kebudayaan yang memungkinkan manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka,
mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman tersebut, serta belajar
berkenalan dengan orang-orang lain.
4. Alat mengadakan kontrol sosial
Bahasa merupakan alat yang
dipergunakan dalam usaha mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang
lain. Bahasa juga mempunyai relasi dengan proses-proses sosialisasi suatu
masyarakat.
Menurut Felicia (2001:1), dalam
berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah
bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Begitu dekatnya kita kepada
bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami
dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh.
Bahasa Indonesia sangat erat kaitannya
dengan kehidupan bermasyarakat. Seiring dengan kemajuan zaman, bahasa Indonesia
mulai dipandang sebelah mata oleh warga negara Indonesia, masyarakat mulai
terpengaruh oleh bahasa asing yang menjadi tren di ranah Indonesia akhir-akhir
ini. Khususnya sejak adanya globalisasi bahasa Inggris yang mulai diwajibkan
bagi seluruh warga di dunia untuk mempelajarinya.
Dalam bahasa selalu tersirat realita.
Sementara perilaku selalu merujuk pada perilaku komunikasi. “Komunikasi bisa
terjadi jika proses decoding dan encoding berjalan dengan baik. Kedua proses
ini dapat berjalan dengan baik, apabila baik encoder maupun decoder sama-sama
memiliki pengetahuan dunia dan pengetahuan bahasa yang sama” (Omaggio, 1986).
Pemerolehan pengetahuan dunia (realita)
atau proses penghubungan bahasa dan realita pada prinsipnya sama, yakni manusia
memperoleh representasi mental realita
melalui pengalaman yang langsung atau melalui pemberitahuan orang lain.
Misalnya seseorang menyaksikan sebuah kecelakaan terjadi, orang tersebut akan
memiliki representasi mental tentang kecelakaan tadi. Hanya saja terjadi
perbedaan representasi mental pada kedua orang itu.
METODE PENELITIAN
Metode
penelitian yang penulis gunakan yaitu kajian pustaka, dimana penulis mengkaji
sumber dari beberpa buku dan internet yang kemudian penulis paparkan dalam
jurnal ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketika orang melakukan komunikasi tentu
memiliki tujuan tertentu. Antara pihak-pihak yang terlibat komunikasi memiliki
tujuan yang sama, namun dapat pula memiliki tujuan berbeda. Ada orang
berkomunikasi dengan orang lain sekedar agar tidak kesepian, tetapi ada pula
yang menjalin komunikasi karena hendak mencapai tujuan yang besar, misalnya
ingin mengubah sikap dan perilaku. Sutarto (1991:1-2) mengadopsi pendapat
Verdeber, menjelaskan adanya empat tingkatan alasan mengapa orang berkomunikasi, yaitu:
a.
Pada tingkat sosial pertama, orang berkomunikasi untuk mengisi waktu
belaka.
b.
Pada tingkat sosial kedua, orang berkomunikasi untuk menunjukkan
keterkaitan dengan orang lain.
c.
Pada tingkat sosial ketiga, orang berkomunikasai untuk membangun dan
memelihara hubungan.
d.
Pada tingkat sosial keempat, orang berkomunikasi untuk memperteguh
hubungan-hubungan mereka.
Maka dari itu, seseorang dapat
berinteraksi sosial dikarenakan adanya suatu bahasa. Ilmu yang mempelajari
bahasa dan sosial adalah sosiolinguistik. Jadi, sosiolinguistik adalah kajian
tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (dipelajari oleh
ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi). Terkadang sosialinguistik disebut juga linguistik institusional (Halliday, 1970)
atau sosiologi bahasa (Fishman,
1972), namun hakikat keduanya sama dengan sosial linguistik. Halliday (1970),
menyebut sosiolinguistik sebagai linguistik institusional (institutional linguistics), berkaitan dengan pertautan bahasa dan
orang-orang yang memakai bahasa itu (deals
with the relation between a language and the people who use it).
Sosiolinguistik mengacu kepada pemakaian dan kebahasaan dan menganalisis ke
dalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut
kehidupan sosial, dan sebaliknya mengacu kepada data kemasyarakatan dan
menganalisis ke dalam linguistik. Sosiolinguistik meliputi tiga hal, yakni
bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik
harus berbicara tentang pentingnya bahasa terhadap sekelompok orang, dari
kelompok yang jumlahnya hanya ratusan sampai kelompok yang membentuk bangsa.
Negara yang aneka bahasa memiliki masalah
lebih banyak dibandingkan dengan negara ekabahasa. Pada tataran praktis,
kesulitan komunikasi dalam suatu negara dapat menjadi rintangan bagi kehidupan
ekonomi dan industri serta gangguan sosial. Yang lebih serius lagi,
keanekabahasaan itu bekerja berlawanan dengan arah nasionalisme. Berdasarkan
kenyataan bahwa negara-bangsa (nation-state)
itu tampak lebih stabil daripada negara anekabahasa, dan berdasarkan pentingnya
bagi nasionalisme, maka perkembangan berdasarkan rasa nasionalisme terasa lebih
sulit bagi negara anekabahasa daripada negara ekabahasa. Negara anekabahasa
dapat mendekati masalah ini dengan dua cara (1) mereka dapat berusaha
mengembangkan bahasa nasional, atau (2) mereka dapat mencoba mengembangkan
nasionalisme tidak berdasarkan bahasa.
Contoh negara anekabahasa adalah negara Indonesia.
Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat
komunikasi lingual manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Ini adalah
fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai
sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya
selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu
mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku
maupun anggota bangsa. Karena kondisi dan pentingnya bahsa itulah, maka ia
diberi ‘label’ secara eksplisit oleh pemakainya yang berupa kedudukan dan
fungsi tertentu.
Kedudukan fungsi bahasa yang dipakai oleh
pemakainya perlu dirumuskan secara eksplisit, sebab kejelasan ‘label’ yang
diberikan akan memengaruhi masa depan bahasa yang bersangkutan. Pemakainya akan
menyikapinya secara jelas terhadapnya. Pemakaiannya akan memperlakukannya
sesuai dengan ‘label’ yang dikenakan padanya.
Di pihak lain, bagi masyarakat yang
dwibahasa (dwilingual), akan dapat ‘memilah-milahkan’ sikap dan pemakain
kedua atau lebih bahasa yang
digunakannya. Mereka tidak akan memakai secara sembarangan. Mereka bisa
mengetahui kapan dan dalam situasi apa bahasa yang satu dipakai,
dan kapan dan dalam situasai apa pula bahasa yang lainnya dipakai. Dengan
demikian pengembangan bahasa-bahasa itu akan menjadi terarah. Pemakainya akan
berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yag telah disepakatinya dengan,
antara lain, menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang ‘masuk’ ke dalamnya.
Unsur-unsur yang dianggap menguntungkanny akan diterima, sedangkan unsur-unsur
yang dianggap merugikannya akan ditolak.
Sehubungan dengan itulah maka perlu adanya
aturan untuk menentukan kapan, misalnya, suatu unsur lain yang memengaruhinya
layak diterima, dan kapan seharusya ditolak. Semuanya itu dituangkan dalam
bentuk kebijaksanaan pemerinatah yang bersangkutan. Di negara kita itu disebut Politik Bahasa Nasional, yaitu kebijaksanaan
nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang
dapat dipakai sebagai dasar bagi pemecahan keseluruahn masalah bahasa.
Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28
Februari 1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di dalam kedudukannya
sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) berfungsi sebagai: (1) lambang kebanggan
nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) pemersatu berbagai masayarakat
yang berbeda latar belakang sosial budaya bahasa, dan
(4) alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1975:5). Dalam pergaulan internasional, BI mewujudkan identitas bangsa sebagai identitas fonik, di samping identitas fisik, yakni bendera merah putih dan garuda Pancasila.
(4) alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1975:5). Dalam pergaulan internasional, BI mewujudkan identitas bangsa sebagai identitas fonik, di samping identitas fisik, yakni bendera merah putih dan garuda Pancasila.
Arus globalisasi menimbulkan pengubah
sosial yang menurut Salim (1990) menimpa empat bidang kekuatan yang menonjol daya dobraknya. Keempat bidang
kekuatan itu, yakni pertama gelombang perkembangan yang amat tinggi dalam
bidang IPTEK. Gelombang kedua, yakni bidang ekonomi, misalnya yang dapat kita
amati penyatuan pasar Eropa Barat, AS, dan Kanada. Kecenderungan ini merupakan
perilaku ekonomi global yang praktis telah mencakup sebagai wilayah di dunia
ini tanpa mengenal batas. Gelombang ketiga, yakni masalah lingkungan hidup,
misalnya jika terjadi pencemaran laut di Selat Malaka, dampaknya tidak hanya
dirasakan Malaysia, Singapura, dan Indonesia, tetapi juga di negara tetangga
lainnya. Gelombang keempat, yakni bidang politik sehingga dewasa ini tak ada
lagi suatu negara yang hanya mempertaruhkan potensi yang terdapat di dalam
negaranya.
Arus globalisasi itu telah menimbulkan
pengubah sosial yang dalam waktu-waktu yang akan datang akan terjelma dalam
perilaku sosial, baik perilaku sosial bermasalah maupun perilaku sosial yang
positif. Kenyataan menunjukkan di mana-mana selalu digebyarkan kata atau urutan
kata persaingan, harga bersaing, persaingan global, kalah bersaing, dan
memasuki persaingan global.
Gumperz dan Gumpersz (1985:2) menyatakan
bahwa konflik sosial yang terjadi pada dekade terakhir ini disebabkan oleh
konflik etnik, kelas, atau agama. Namun, ahli bahasa, misalnya Stewart
(Moeliono, 1985:45) berpendapat keanekabahasaan cenderung ke arah kestabilan
sehingga bahasa yang dipakai secara berdampingan akan isi-mengisi dalam
perubahan bermacam-macam fungsi tanpa persaingan. Pendapat Stewart ini
diwujudkan oleh adanya ideologi penyatu bangsa, yakni Pancasila sehingga
perbedaan antara bahasa-bahasa di Indonesia akan dikecil-kecilkan, bahkan
dianggap seakan-akan tidak ada.
Fenomena negatif yang masih terjadi di tengah-tengah
masyarakat Indonesia antara lain sebagai berikut:
a.
Banyak orang Indonesia memperlihatkan dengan bangga kemahirannya
menggunakan bahasa Inggris, walaupun mereka tidak menguasai bahasa Indonesia
dengan baik.
b.
Banyak orang Indonesia merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing
(Inggris) tetapi tidak pernah merasa malu dan kurang apabila tidak menguasai
bahasa Indonesia.
c.
Banyak orang Indonesia menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau
mempelajarinya karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan
baik.
d.
Banyak orang Indonesia merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain
karena telah menguasai bahasa asing (Inggris) dengan fasih, walaupun penguasaan
bahasa Indonesianya kurang sempurna.
Akibat lanjut yang timbul dari
kenyataan-kenyataan tersebut antara lain sebagai berikut:
a.
Banyak orang Indonesia lebih suka mengunakan kata-kata, istilah-istilah,
dan ungkapan –ungkapan asing, padahal kata-kata, istilah-istilah, dan
ungkapan-ungkapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, bahakan
sudah umum dipakai dalam bahasa Indonesia. Misalnya, page, background, reality, altenatif, airport, masing-masing untuk
“halaman”, “latar belakang”, “kenyataan”, “(kemungkinan) pilihan”, dan
“lapangan terbang” atau “bandara”.
b.
Banyak orang Indonesia menghargai bahasa asing secara berlebihan
sehingga ditemukan kata dan istilah asing yang “amat asing”, “terlalu asing”,
atau “hiper asing”. Hal ini terjadi karena salah pengertian dalam menerapkan
kata-kata asing tersebut, misalnya rokh,
insyaf, fihak, fatsal, syarat (muatan), (dianhggap), syah.
Padahal, kata-kata itu cukup diucapkan dan ditulis roh, insaf, pihak, pasal,
sarat (muatan), dan (dianggap) sah.
c.
Banyak orang Indonesia belajar dan menguasai bahasa asing dengan baik
tetapi menguasai bahasa Indonesia apa adanya. Terkait dengan itu, banyak orang
Indonesia yang mempunyai bermacam-macam kamus bahasa asing tetapi tidak
mempunyai satu pun kamus bahasa Indonesia. Seolah-olah seluruh kosakata bahasa
Indonesia telah dikuasainya dengan baik. Akibatnya, jika mereka kesulitan
menjelaskan atau menerapkan kata-kata yang sesuai dengan cara sederhana dan
mudah. Misalnya, penggunaan kata yang
mana kurang tepat, pencampur adukan penggunaan kata tidak dan bukan, pemakaian
kata ganti saya, kami, kita yang
tidak jelas.
Untuk mempertahankan kehadiran Bahasa
Indonesia sebagai satu bahasa, yang merupakan ciri-ciri kepribadian bangsa
Indonesia ini patut dipertahankan. Berikut cara-cara yang dapat dimanfaatkan:
1)
Menggambarkan secara jelas kaidah-kaidah bahasa Indonesia, pola-pola
strukturnya, dan kebiasaan-kebiasaan pemakaiannnya.
2)
Mengembangkan latihan-latihan yang efektif dan efisien, menggunakan
kaidah-kaidah, pola-pola struktur, dan kebiasaan pemakaian bahasa Indonesia.
3)
Menghalangi pengaruh-pengaruh bahasa lain, baik dari bahasa daerah
maupun bahasa asing, yang “merusak” kepribadian bahasa Indonesia. Mengingat
bahwa pengaruh ini tidak mungkin dihalangi sepenuhnya, maka dalam berhadapan
dengan pengaruh diperlukan tindakan selektif dan usaha-usaha penyesuaian dengan
kepribadian bahasa Indonesia. Secara teknis masalah ini dibahas pada bagian
uraian pengembangan bahasa Indonesia.
4)
Menghalangi perubahan-perubahan dalam diri bahasa Indonesia sendiri yang
“merusak” kepribadiannya. Tentang hal ini diuraikan pada bagian uaraian
selanjutnya.
5)
Menyebarluaskan contoh-contoh tutur bahasa Indonesia yang materi serta
susunan bahasa Indonesia-nya sesuai dengan ciri-ciri kepribadian bahasa
Indonesia. Demikianlah beberapa usaha dan tindak yang diperkirakan dapat
dimanfaatkan untuk mempertahankan kepribadian bahasa Indonesia yang
mempertahankan kehadiran bahasa Indonesia sebagai satu bahasa tersendiri.
Antara masyarakat pemakai/pemilik suatu bahasa dengan bahasanya, ternyata terdapat hubungan
kejiwaan tertentu yang tidak bisa kita ingkari adanya. Teori nativisme telah
banyak membuktikan adanya hubungan tersebut, demikian pula psikolinguistik dan
sosiolinguistik sebagai dua cabang ilmu yang berkembang pesat pada akhir-akhir
ini telah menemukan hubungan kejiwaan yang menarik antara bahasa dengan
masyasrakat pemiliknya.
Salah seorang sarjana Antropologi yang ada
meneliti hubungan kejiwaan tersebut dengan dasar-dasar pandangan teori
nativisme Ralp Linton. Menurut Linton antara bahasa dengan pemiliknya ada
hubungan yang saling mewarnai sebagai akibat dari intensifnya hubungan tersebut
di sepanjang sejarahanya. Integrasi kontinyu masyarakat bahasa itu ke dalam
bahasanya membalik membentuk perasaan nostalgia terhadap bahasanya. Akibatnya
berkembanglah anggapan dalam masyarakat bahasa tersebut bahwa bahasanya adalah
simbol (linguistis) dari bangsanya. Tentu saja tidak setiap anggota masyarakat
bangsa itu menyadari hal ini secara analitis berhubungan dengan perbedaan
tingkat pendidikan dan kecerdasannya. Tetapi, yang pasti adalah setiap anggota
masyarakat bangsa tersebut ada mempunyai perasaan nostalgia terhadap bahasanya.
Adanya rasa nostalgia ini tampak misalnya timbulnya dorongan untuk
mempertahankan eksistensi ataupun kemurnian bahasanya dari pengaruh bahasa lain
yang diduganya akan merusak bahasanya. Atau dengan kata lain ada dorongan
defensif seperti yang dikatakan oleh Kroeber.
Dalam redaksi yang berbeda, namun dengan
isi yang sama, Uriel Weinreich sampai melihat kesejajaran antara bahasa dengan
kebangsaan (nationality) yang berupa
seperangkat norma-norma tingkah laku. “A language, like a nationality, may be
thought as a set of behavior norms; ...”
demikian kata Weinreich. Karl Vossler mengatakan bahwa bahasa itu tidak ubahnya
sebagai “tanah air” kedua bagi masyarakat bangsa pemiliknya. Tentu apa yang
dikemukakan oleh Weinreich dan Vossler ini ada benarnya, jika kita berada di
rantauan atau di luar negeri lalu kemudian bertemu dengan orang yang sedaerah
atau sebangsa, dalam konversasi dengan bahasa daerah atau bahasa nasional terasa sekali bahwa bahasa tersebut
membawa kita ke suasana tanah kelahiran. Dalam posisi inilah bahasa itu sendiri
menumbuhkan sikap mental (atittude) positif terhdap bahasa kita yang
unsur-unsurnya antara lain berupa: rasa-setia-bahasa (language loyality), kebanggaan (proud),
dan ketaatan menepati kaidah (awareness
of the norms) bahasa sendiri. Demikianlah bahasa itu sendiri kita anggap
sebagai simbol bangsa yang menyatukan kita sebagai suatu bangsa dan
memisahkan/membedakan kita dari bangsa-bangsa lain. Sehubungan dengan ini,
rupanya tak berlebihan jika J. Vendreyes misalnya mengatakan bahwa bahasa
adalah alat pengikat sosial yang terkuat dan alat pembentuk kesadaran nasional
yang ampuh. Berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai simbol bangsa Einar Haugen
mengatakan sebagai berikut: “Among the
several symbols of nation individuality and independence language was hit upon
as one of the most important.” Bahasalah di antara berbagai simbol
kebangsaan dan kemerdekaan yang paling utama menandai bangsa pemiliknya.
Dalam hubungannya dengan pemiliknya,
bahasa itu bukan saja dipakai sebagai simbol ataupun alat penunjuk bangsa
melainkan sebaliknya bahasa itu membentuk pola kejiwaan dan tingkah laku
masyarakat pemiliknya. Tentang hal ini secara hipotesis telah dikemukakan oleh
Sapir 1921 dan kemudian secara eksperimental telah dibuktikan pula oleh Benjamin
L. Whorf bersama murid-muridnya/pengikut-pengikutnya di tengah-tengah
masyarakat bangsa Indonesia.
Hubungan kejiwaan tersebut sudah
sewajarnya kita bina dalam rangka pembinaan bahasa Indonesia. Sasaran utama
kita dalam hubungan ini adalah sikap mental (attitude)
bangsa Indonesia terhadap bahasa Indonesia. Pembinaan bahasa Indonesia
hendaklah mengarahkan kegiatannya pula kepada pembinaan sikap mental bangsa
Indonesia, agar bangsa Indonesia mempunyai sikap mental yang positif kepada
bahasa Indonesia. Rasa-setia-bahasa, kebanggaan-bahasa dan ketaatan menepati
kaidah-kaidah bahasa Indonesia adalah aspek-aspek kejiwaan yang merupakan
sasaran pembinaan. Hasil terakhir ysng kita harapkan adalah berkembangnya sikap
/tekad mempertahankan serta membina bahasa Indonesia bersamaan dengan menumbuhkan
anggapan bahwa bahasa Indonesialah yang merupakan simbol (linguistis) dari
bangsanya yang menandai sebagai suatu bangsa dan membedakannya dengan
bangsa-bangsa yang lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kita bekomunikasi di masyarakat karena
dari mengadakan komunikasai itu kita mengharapkan dua keuntungan atau manfaat,
yakni manfaat individu dan sosial. Pada tataran manfaat individu, kita pribadi
yang akan merasakan manfaatnya. Misalnya kita dapat memupuk hubungan baik
dengan orang lain, kita mendapatkan informasi, kita belajar nilai-nilai, kita
memperoleh kepercayaan, kita dapat mengklarifikasi suatu kesalahan, dan
sebagainya. Sedangkan pada tataran manfaat sosial, berarti manfaat itu tidak
hanya kita rasakan sendiri melainkan juga oleh warga masyarakat lainnya.
Misalnya dengan saling berkomunikasi, para warga dapat menyelesaikan
program-program kegiatan di masyarakat, dapat menagmbil keputusan yang tepat,
dapat menghindari terjadinya konflik, dengan sendirinya hal ini dapat
meningkatkan keharmonisan hubungan warga masyarakat tersebut.
Untuk mendukung keberhasilan komunikasi sosial
budaya diperlukan kesepakatan dalam memberi makna atas lambang-lambang yang
digunakan. Komunikasi akan mengalami distorsi, tatkala orang-oang yang
berkomunikasi itu berasal dari latar belakang sosial budaya serta memberi arti
atau makna lambang yang berbeda pula.
DAFTAR PUSTAKA
Aslianda
dan Leni Syafyahya. (2007). Pengantar
Sosiolinguistik. Bandung: PT. Refika Aditama.
Aw,
Suranto. (2010). Komunikasi Sosial
Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muslich,
Masnur. (2010). Bahasa Indonesia pada Era
Globalisasi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Pateda,
Mansoer. (1987). Sosiolinguistik. Bandung:
Angkasa.
Sumarsono
dan Paina Partana. (2002). Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Sabda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar