Senin, 05 Januari 2015

Wulan Permatasari

PENGARUH BAHASA INDONESIA TERHADAP PERILAKU SOSIAL
Wulan Permatasari
Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak: Manusia dapat bersosialisasi karena adanya sebuah interaksi yang saling merespon. Interaksi tersebut berupa komunikasi yang disertai sebuah bahasa dalam budayanya. Kajian ilmiah terhadap bahasa dalam semua indra disebut dengan linguistik. Dan ilmu yang mempelajari bahasa dan sosial adalah sosiolinguistik. Sosiolinguistik meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik membahas tentang suata  bahasa dari sekelompok orang. Di Indonesia terdapat beragam bahasa yang digunakan masyarakat sesuai dengan latar belakang budayanya.
Bahasa adalah alat komunikasi lingual manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa. Di era globalisasi ini, bahasa dapat berdampak negatif dan positif kepada perilaku sosial.
Kata kunci: Bahasa, bangsa, dan interaksi sosial
PENDAHULUAN
     Bahasa merupakan alat komunikasi sosial yang mengkondisikan pikiran manusia tentang suatu masalah yang berada di lingkungan sekitarnya, manusia berpikir tentang suatu objek yang kemudian diubah bentuknya ke dalam suatu simbol.
     Bahasa bisa mengacu kepada kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, atau kepada sebuah instansi spesifik dari sebuah sistem komunikasi yang kompleks. Kajian ilmiah terhadap bahasa dalam semua indra disebut dengan linguistik.

     Gorys Keraf (2001:3-8) menyatakan bahwa ada empat fungsi bahasa, yaitu:
1. Alat untuk menyatakan ekspresi diri
Bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita.
2. Alat komunikasi
Bahasa merupakan saluran perumusan maksud yang melahirkan perasaan dan memungkinkan adanya kerjasama antar individu.
3. Alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial
Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang memungkinkan manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman tersebut, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain.
4. Alat mengadakan kontrol sosial
Bahasa merupakan alat yang dipergunakan dalam usaha mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang lain. Bahasa juga mempunyai relasi dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat.
     Menurut Felicia (2001:1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh.
     Bahasa Indonesia sangat erat kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat. Seiring dengan kemajuan zaman, bahasa Indonesia mulai dipandang sebelah mata oleh warga negara Indonesia, masyarakat mulai terpengaruh oleh bahasa asing yang menjadi tren di ranah Indonesia akhir-akhir ini. Khususnya sejak adanya globalisasi bahasa Inggris yang mulai diwajibkan bagi seluruh warga di dunia untuk mempelajarinya.
     Dalam bahasa selalu tersirat realita. Sementara perilaku selalu merujuk pada perilaku komunikasi. “Komunikasi bisa terjadi jika proses decoding dan encoding berjalan dengan baik. Kedua proses ini dapat berjalan dengan baik, apabila baik encoder maupun decoder sama-sama memiliki pengetahuan dunia dan pengetahuan bahasa yang sama” (Omaggio, 1986).
     Pemerolehan pengetahuan dunia (realita) atau proses penghubungan bahasa dan realita pada prinsipnya sama, yakni manusia memperoleh representasi  mental realita melalui pengalaman yang langsung atau melalui pemberitahuan orang lain. Misalnya seseorang menyaksikan sebuah kecelakaan terjadi, orang tersebut akan memiliki representasi mental tentang kecelakaan tadi. Hanya saja terjadi perbedaan representasi mental pada kedua orang itu.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang penulis gunakan yaitu kajian pustaka, dimana penulis mengkaji sumber dari beberpa buku dan internet yang kemudian penulis paparkan dalam jurnal ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
     Ketika orang melakukan komunikasi tentu memiliki tujuan tertentu. Antara pihak-pihak yang terlibat komunikasi memiliki tujuan yang sama, namun dapat pula memiliki tujuan berbeda. Ada orang berkomunikasi dengan orang lain sekedar agar tidak kesepian, tetapi ada pula yang menjalin komunikasi karena hendak mencapai tujuan yang besar, misalnya ingin mengubah sikap dan perilaku. Sutarto (1991:1-2) mengadopsi pendapat Verdeber, menjelaskan adanya empat tingkatan alasan  mengapa orang berkomunikasi, yaitu:
a.       Pada tingkat sosial pertama, orang berkomunikasi untuk mengisi waktu belaka.
b.      Pada tingkat sosial kedua, orang berkomunikasi untuk menunjukkan keterkaitan dengan orang lain.
c.       Pada tingkat sosial ketiga, orang berkomunikasai untuk membangun dan memelihara hubungan.
d.      Pada tingkat sosial keempat, orang berkomunikasi untuk memperteguh hubungan-hubungan mereka.
     Maka dari itu, seseorang dapat berinteraksi sosial dikarenakan adanya suatu bahasa. Ilmu yang mempelajari bahasa dan sosial adalah sosiolinguistik. Jadi, sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (dipelajari oleh ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi). Terkadang sosialinguistik disebut juga  linguistik institusional (Halliday, 1970) atau sosiologi bahasa (Fishman, 1972), namun hakikat keduanya sama dengan sosial linguistik. Halliday (1970), menyebut sosiolinguistik sebagai linguistik institusional (institutional linguistics), berkaitan dengan pertautan bahasa dan orang-orang yang memakai bahasa itu (deals with the relation between a language and the people who use it). Sosiolinguistik mengacu kepada pemakaian dan kebahasaan dan menganalisis ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut  kehidupan sosial, dan sebaliknya mengacu kepada data kemasyarakatan dan menganalisis ke dalam linguistik. Sosiolinguistik meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik harus berbicara tentang pentingnya bahasa terhadap sekelompok orang, dari kelompok yang jumlahnya hanya ratusan sampai kelompok yang membentuk bangsa.
     Negara yang aneka bahasa memiliki masalah lebih banyak dibandingkan dengan negara ekabahasa. Pada tataran praktis, kesulitan komunikasi dalam suatu negara dapat menjadi rintangan bagi kehidupan ekonomi dan industri serta gangguan sosial. Yang lebih serius lagi, keanekabahasaan itu bekerja berlawanan dengan arah nasionalisme. Berdasarkan kenyataan bahwa negara-bangsa (nation-state) itu tampak lebih stabil daripada negara anekabahasa, dan berdasarkan pentingnya bagi nasionalisme, maka perkembangan berdasarkan rasa nasionalisme terasa lebih sulit bagi negara anekabahasa daripada negara ekabahasa. Negara anekabahasa dapat mendekati masalah ini dengan dua cara (1) mereka dapat berusaha mengembangkan bahasa nasional, atau (2) mereka dapat mencoba mengembangkan nasionalisme tidak  berdasarkan bahasa. Contoh negara anekabahasa adalah negara Indonesia.
     Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa. Karena kondisi dan pentingnya bahsa itulah, maka ia diberi ‘label’ secara eksplisit oleh pemakainya yang berupa kedudukan dan fungsi tertentu.
     Kedudukan fungsi bahasa yang dipakai oleh pemakainya perlu dirumuskan secara eksplisit, sebab kejelasan ‘label’ yang diberikan akan memengaruhi masa depan bahasa yang bersangkutan. Pemakainya akan menyikapinya secara jelas terhadapnya. Pemakaiannya akan memperlakukannya sesuai dengan ‘label’ yang dikenakan padanya.
     Di pihak lain, bagi masyarakat yang dwibahasa (dwilingual), akan dapat ‘memilah-milahkan’ sikap dan pemakain kedua  atau lebih bahasa yang digunakannya. Mereka tidak akan memakai secara sembarangan. Mereka bisa mengetahui kapan dan dalam situasi apa bahasa yang satu dipakai, dan kapan dan dalam situasai apa pula bahasa yang lainnya dipakai. Dengan demikian pengembangan bahasa-bahasa itu akan menjadi terarah. Pemakainya akan berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yag telah disepakatinya dengan, antara lain, menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang ‘masuk’ ke dalamnya. Unsur-unsur yang dianggap menguntungkanny akan diterima, sedangkan unsur-unsur yang dianggap merugikannya akan ditolak.
     Sehubungan dengan itulah maka perlu adanya aturan untuk menentukan kapan, misalnya, suatu unsur lain yang memengaruhinya layak diterima, dan kapan seharusya ditolak. Semuanya itu dituangkan dalam bentuk kebijaksanaan pemerinatah yang bersangkutan. Di negara kita itu disebut Politik Bahasa Nasional, yaitu kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pemecahan keseluruahn masalah bahasa.
     Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28 Februari 1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI)  berfungsi sebagai: (1) lambang kebanggan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) pemersatu berbagai masayarakat yang berbeda latar belakang sosial budaya bahasa, dan
(4) alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1975:5). Dalam pergaulan internasional, BI mewujudkan identitas bangsa sebagai identitas fonik, di samping identitas fisik, yakni bendera merah putih dan garuda Pancasila.
     Arus globalisasi menimbulkan pengubah sosial yang menurut Salim (1990) menimpa empat bidang kekuatan  yang menonjol daya dobraknya. Keempat bidang kekuatan itu, yakni pertama gelombang perkembangan yang amat tinggi dalam bidang IPTEK. Gelombang kedua, yakni bidang ekonomi, misalnya yang dapat kita amati penyatuan pasar Eropa Barat, AS, dan Kanada. Kecenderungan ini merupakan perilaku ekonomi global yang praktis telah mencakup sebagai wilayah di dunia ini tanpa mengenal batas. Gelombang ketiga, yakni masalah lingkungan hidup, misalnya jika terjadi pencemaran laut di Selat Malaka, dampaknya tidak hanya dirasakan Malaysia, Singapura, dan Indonesia, tetapi juga di negara tetangga lainnya. Gelombang keempat, yakni bidang politik sehingga dewasa ini tak ada lagi suatu negara yang hanya mempertaruhkan potensi yang terdapat di dalam negaranya.
     Arus globalisasi itu telah menimbulkan pengubah sosial yang dalam waktu-waktu yang akan datang akan terjelma dalam perilaku sosial, baik perilaku sosial bermasalah maupun perilaku sosial yang positif. Kenyataan menunjukkan di mana-mana selalu digebyarkan kata atau urutan kata persaingan, harga bersaing, persaingan global, kalah bersaing, dan memasuki persaingan global.
     Gumperz dan Gumpersz (1985:2) menyatakan bahwa konflik sosial yang terjadi pada dekade terakhir ini disebabkan oleh konflik etnik, kelas, atau agama. Namun, ahli bahasa, misalnya Stewart (Moeliono, 1985:45) berpendapat keanekabahasaan cenderung ke arah kestabilan sehingga bahasa yang dipakai secara berdampingan akan isi-mengisi dalam perubahan bermacam-macam fungsi tanpa persaingan. Pendapat Stewart ini diwujudkan oleh adanya ideologi penyatu bangsa, yakni Pancasila sehingga perbedaan antara bahasa-bahasa di Indonesia akan dikecil-kecilkan, bahkan dianggap seakan-akan tidak ada.
     Fenomena negatif  yang masih terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia antara lain sebagai berikut:
a.       Banyak orang Indonesia memperlihatkan dengan bangga kemahirannya menggunakan bahasa Inggris, walaupun mereka tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
b.      Banyak orang Indonesia merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing (Inggris) tetapi tidak pernah merasa malu dan kurang apabila tidak menguasai bahasa Indonesia.
c.       Banyak orang Indonesia menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau mempelajarinya karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
d.      Banyak orang Indonesia merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain karena telah menguasai bahasa asing (Inggris) dengan fasih, walaupun penguasaan bahasa Indonesianya kurang sempurna.
     Akibat lanjut yang timbul dari kenyataan-kenyataan tersebut antara lain sebagai berikut:
a.       Banyak orang Indonesia lebih suka mengunakan kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan –ungkapan asing, padahal kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, bahakan sudah umum dipakai dalam bahasa Indonesia. Misalnya, page, background, reality, altenatif, airport, masing-masing untuk “halaman”, “latar belakang”, “kenyataan”, “(kemungkinan) pilihan”, dan “lapangan terbang” atau “bandara”.
b.      Banyak orang Indonesia menghargai bahasa asing secara berlebihan sehingga ditemukan kata dan istilah asing yang “amat asing”, “terlalu asing”, atau “hiper asing”. Hal ini terjadi karena salah pengertian dalam menerapkan kata-kata asing tersebut, misalnya rokh, insyaf, fihak, fatsal, syarat (muatan), (dianhggap), syah. Padahal, kata-kata itu cukup diucapkan dan ditulis roh, insaf, pihak, pasal, sarat (muatan), dan (dianggap) sah.
c.       Banyak orang Indonesia belajar dan menguasai bahasa asing dengan baik tetapi menguasai bahasa Indonesia apa adanya. Terkait dengan itu, banyak orang Indonesia yang mempunyai bermacam-macam kamus bahasa asing tetapi tidak mempunyai satu pun kamus bahasa Indonesia. Seolah-olah seluruh kosakata bahasa Indonesia telah dikuasainya dengan baik. Akibatnya, jika mereka kesulitan menjelaskan atau menerapkan kata-kata yang sesuai dengan cara sederhana dan mudah. Misalnya, penggunaan kata yang mana kurang tepat, pencampur adukan penggunaan kata tidak dan bukan, pemakaian kata ganti saya, kami, kita yang tidak jelas.
     Untuk mempertahankan kehadiran Bahasa Indonesia sebagai satu bahasa, yang merupakan ciri-ciri kepribadian bangsa Indonesia ini patut dipertahankan. Berikut cara-cara yang dapat dimanfaatkan:
1)      Menggambarkan secara jelas kaidah-kaidah bahasa Indonesia, pola-pola strukturnya, dan kebiasaan-kebiasaan pemakaiannnya.
2)      Mengembangkan latihan-latihan yang efektif dan efisien, menggunakan kaidah-kaidah, pola-pola struktur, dan kebiasaan pemakaian bahasa Indonesia.
3)      Menghalangi pengaruh-pengaruh bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing, yang “merusak” kepribadian bahasa Indonesia. Mengingat bahwa pengaruh ini tidak mungkin dihalangi sepenuhnya, maka dalam berhadapan dengan pengaruh diperlukan tindakan selektif dan usaha-usaha penyesuaian dengan kepribadian bahasa Indonesia. Secara teknis masalah ini dibahas pada bagian uraian pengembangan bahasa Indonesia.
4)      Menghalangi perubahan-perubahan dalam diri bahasa Indonesia sendiri yang “merusak” kepribadiannya. Tentang hal ini diuraikan pada bagian uaraian selanjutnya.
5)      Menyebarluaskan contoh-contoh tutur bahasa Indonesia yang materi serta susunan bahasa Indonesia-nya sesuai dengan ciri-ciri kepribadian bahasa Indonesia. Demikianlah beberapa usaha dan tindak yang diperkirakan dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan kepribadian bahasa Indonesia yang mempertahankan kehadiran bahasa Indonesia sebagai satu bahasa tersendiri.
     Antara masyarakat pemakai/pemilik suatu bahasa dengan bahasanya, ternyata terdapat hubungan kejiwaan tertentu yang tidak bisa kita ingkari adanya. Teori nativisme telah banyak membuktikan adanya hubungan tersebut, demikian pula psikolinguistik dan sosiolinguistik sebagai dua cabang ilmu yang berkembang pesat pada akhir-akhir ini telah menemukan hubungan kejiwaan yang menarik antara bahasa dengan masyasrakat pemiliknya.
     Salah seorang sarjana Antropologi yang ada meneliti hubungan kejiwaan tersebut dengan dasar-dasar pandangan teori nativisme Ralp Linton. Menurut Linton antara bahasa dengan pemiliknya ada hubungan yang saling mewarnai sebagai akibat dari intensifnya hubungan tersebut di sepanjang sejarahanya. Integrasi kontinyu masyarakat bahasa itu ke dalam bahasanya membalik membentuk perasaan nostalgia terhadap bahasanya. Akibatnya berkembanglah anggapan dalam masyarakat bahasa tersebut bahwa bahasanya adalah simbol (linguistis) dari bangsanya. Tentu saja tidak setiap anggota masyarakat bangsa itu menyadari hal ini secara analitis berhubungan dengan perbedaan tingkat pendidikan dan kecerdasannya. Tetapi, yang pasti adalah setiap anggota masyarakat bangsa tersebut ada mempunyai perasaan nostalgia terhadap bahasanya. Adanya rasa nostalgia ini tampak misalnya timbulnya dorongan untuk mempertahankan eksistensi ataupun kemurnian bahasanya dari pengaruh bahasa lain yang diduganya akan merusak bahasanya. Atau dengan kata lain ada dorongan defensif seperti yang dikatakan oleh Kroeber.
     Dalam redaksi yang berbeda, namun dengan isi yang sama, Uriel Weinreich sampai melihat kesejajaran antara bahasa dengan kebangsaan (nationality) yang berupa seperangkat norma-norma  tingkah laku. “A language, like a nationality, may be thought  as a set of behavior norms; ...” demikian kata Weinreich. Karl Vossler mengatakan bahwa bahasa itu tidak ubahnya sebagai “tanah air” kedua bagi masyarakat bangsa pemiliknya. Tentu apa yang dikemukakan oleh Weinreich dan Vossler ini ada benarnya, jika kita berada di rantauan atau di luar negeri lalu kemudian bertemu dengan orang yang sedaerah atau sebangsa, dalam konversasi dengan bahasa daerah atau bahasa  nasional terasa sekali bahwa bahasa tersebut membawa kita ke suasana tanah kelahiran. Dalam posisi inilah bahasa itu sendiri menumbuhkan sikap mental (atittude) positif terhdap bahasa kita yang unsur-unsurnya antara lain berupa: rasa-setia-bahasa (language loyality), kebanggaan (proud), dan ketaatan menepati kaidah (awareness of the norms) bahasa sendiri. Demikianlah bahasa itu sendiri kita anggap sebagai simbol bangsa yang menyatukan kita sebagai suatu bangsa dan memisahkan/membedakan kita dari bangsa-bangsa lain. Sehubungan dengan ini, rupanya tak berlebihan jika J. Vendreyes misalnya mengatakan bahwa bahasa adalah alat pengikat sosial yang terkuat dan alat pembentuk kesadaran nasional yang ampuh. Berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai simbol bangsa Einar Haugen mengatakan sebagai berikut: “Among the several symbols of nation individuality and independence language was hit upon as one of the most important.” Bahasalah di antara berbagai simbol kebangsaan dan kemerdekaan yang paling utama menandai bangsa pemiliknya.
     Dalam hubungannya dengan pemiliknya, bahasa itu bukan saja dipakai sebagai simbol ataupun alat penunjuk bangsa melainkan sebaliknya bahasa itu membentuk pola kejiwaan dan tingkah laku masyarakat pemiliknya. Tentang hal ini secara hipotesis telah dikemukakan oleh Sapir 1921 dan kemudian secara eksperimental telah dibuktikan pula oleh Benjamin L. Whorf bersama murid-muridnya/pengikut-pengikutnya di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia.
     Hubungan kejiwaan tersebut sudah sewajarnya kita bina dalam rangka pembinaan bahasa Indonesia. Sasaran utama kita dalam hubungan ini adalah sikap mental (attitude) bangsa Indonesia terhadap bahasa Indonesia. Pembinaan bahasa Indonesia hendaklah mengarahkan kegiatannya pula kepada pembinaan sikap mental bangsa Indonesia, agar bangsa Indonesia mempunyai sikap mental yang positif kepada bahasa Indonesia. Rasa-setia-bahasa, kebanggaan-bahasa dan ketaatan menepati kaidah-kaidah bahasa Indonesia adalah aspek-aspek kejiwaan yang merupakan sasaran pembinaan. Hasil terakhir ysng kita harapkan adalah berkembangnya sikap /tekad mempertahankan serta membina bahasa Indonesia bersamaan dengan menumbuhkan anggapan bahwa bahasa Indonesialah yang merupakan simbol (linguistis) dari bangsanya yang menandai sebagai suatu bangsa dan membedakannya dengan bangsa-bangsa yang lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
     Kita bekomunikasi di masyarakat karena dari mengadakan komunikasai itu kita mengharapkan dua keuntungan atau manfaat, yakni manfaat individu dan sosial. Pada tataran manfaat individu, kita pribadi yang akan merasakan manfaatnya. Misalnya kita dapat memupuk hubungan baik dengan orang lain, kita mendapatkan informasi, kita belajar nilai-nilai, kita memperoleh kepercayaan, kita dapat mengklarifikasi suatu kesalahan, dan sebagainya. Sedangkan pada tataran manfaat sosial, berarti manfaat itu tidak hanya kita rasakan sendiri melainkan juga oleh warga masyarakat lainnya. Misalnya dengan saling berkomunikasi, para warga dapat menyelesaikan program-program kegiatan di masyarakat, dapat menagmbil keputusan yang tepat, dapat menghindari terjadinya konflik, dengan sendirinya hal ini dapat meningkatkan keharmonisan hubungan warga masyarakat tersebut.
     Untuk mendukung keberhasilan komunikasi sosial budaya diperlukan kesepakatan dalam memberi makna atas lambang-lambang yang digunakan. Komunikasi akan mengalami distorsi, tatkala orang-oang yang berkomunikasi itu berasal dari latar belakang sosial budaya serta memberi arti atau makna lambang yang berbeda pula.


DAFTAR PUSTAKA
Aslianda dan Leni Syafyahya. (2007). Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT. Refika Aditama.
Aw, Suranto. (2010). Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muslich, Masnur. (2010). Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Pateda, Mansoer. (1987). Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Sumarsono dan Paina Partana. (2002). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar